Rabu, 09 Januari 2013

Temu Hati Kebangsaan di Gianyar "Kenali Budaya sebagai Perekat Kesatuan Bangsa"


3 Juni 2006


Untuk kesekian kalinya Bapak Anand Krishna hadir di Bali, mulai dari Denpasar, Singaraja dan sekarang giliran Gianyar "tercerahkan" oleh kehadiran beliau. Apa yang saya alami di Hotel Nikki setahun lalu kini terjadi lagi. Ratusan kursi Balai Budaya Gianyar tidak mampu lagi menampung luapan kehadiran masyarakat Gianyar dan sekitarnya. Sampai-sampai mereka harus berdiri dan bersedia berada diluar gedung pertemuan.

Belum pernah sebelumnya ada acara dari organisasi non-pemerintahan yang dibanjiri oleh sejumlah tokoh pemerintahan, spiritual, anggota dewan, partai politik, bendesa adat dan warga biasa. Diantara undangan kehormatan tampak Bupati Gianyar Anak Agung Baratha, Wakil Bupati Gianyar Dewa Putu Wardana, Ketua DPRD Gianyar Made Agus Mahayastra, beberapa ketua partai politik, Muspida, Para Bendesa Adat dan Ida Pendanda Gde Made Gunung.

Dialog yang bertajuk "Kenali Budaya sebagai Perekat Kesatuan Bangsa" mempertemukan tiga pembicara yakni Bapak Anand Krishna, Bapak AA Rai (Budayawan/pemilik Musium ARMA), Ibu Luh Riniti Rahayu (Aktivisi Perempuan dan Ketua KPUD Bali) dan Ibu Yunni - penyiar senior di RRI cabang Denpasar sebagai moderator.

Ibu Luh Riniti Rahayu banyak memaparkan tentang perlunya nilai-nilai nasionalisme direvitalisasikan kembali. Peran perempuan dalam pembangunan bangsa harus dikedepankan karena perempuan memegang peranan penting bagi tumbuhnya kebudayaan. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa akan memberikan dampak yang sangat positif bagi tumbuhnya demokrasi. Tanpa adanya perempuan tentu tidak ada demokrasi karena yang melahirkan laki-laki adalah perempuan. Dan demokrasi tidak akan berjalan tanpa manusia-manusia yang berbudaya.

Berikutnya, Bapak Anak Agung Rai menyampaikan rasa syukurnya sebagai orang Bali, orang Gianyar.... Tapi beliau sering bertanya, siapa sih orang Bali itu? Kenapa kita ada di sini? Pertanyaan ini belum bisa dia jawab. Sekitar abad ke-5, banyak pendatang di Bali: dari Cina, Tibet, India, Jawa...sampai di sini menetap, membawa aliran dan sekte beraneka ragam. Sehingga menurut beliau orang-orang Bali ini adalah campuran atau alkulturasi dari berbagai kebudayaan yang pernah ada dan pernah singgah sebelumnya ke Bali. Raja Udayana dan Ratu Mahendradatta yang memerintah pada abad ke-11, dengan beraneka ragam rakyatnya bisa membawa kesejahteraan dan perdamaian pada satu tujuan yang sama. Lebih jauh dia menuturkan, seni merupakan ideologi spiritual. Apa yang diciptakan orang-orang jaman dulu dituangkan ke dalam seni. Gianyar harus bersyukur karena sumber inspirasi di sekitarnya luar biasa. Seni pemberian alam, dan seni buatan manusia. Walaupun hanya tamatan SMP, tapi dengan semangat ia belajar dari alam dan sekitarnya dan Museum ARMA adalah hasil dari kerja kerasnya. Baginya di museumlah tempat tersimpan roh atau spirit berkesenian seniman yang telah meninggalkan kita. Demikian ia mengakhiri wacananya.

Setelah diselingi lagu-lagu oleh The Torchbearers, muda-mudi pembawa obor kasih dari Anand Krishna Centre, tibalah giliran yang ditunggu-tunggu oleh para peserta, yaitu wacana dari Bapak Anand Krishna.

"Bung Karno, ayahnya Jawa, Muslim. Ibunya adalah Bali, Hindu. Bung Karno adalah hasil interracial and interfaith marriage. Sekarang Indonesia tidak bisa melahirkan seorang Bung Karno lagi karena UU perkawinan kita melarang ini," ungkap Bapak Anand Krishna. Mengutip apa yang pernah dikatakan Bapak Siswono, semua UU yang tidak mengacu pada Pancasila harus dibatalkan, karena dasar negara kita adalah Pancasila. Bapak Anand Krishna pada kesempatan itu menggugah kesadaran masyarakat Gianyar dengan suara beliau yang lembut, tegas dan penuh semangat bahwa tanpa Budaya manusia tidak memiliki roh sama sekali. Dan budaya inilah yang memberikan kesatuan berpikir dalam hidup. Apabila budaya bisa dipertahankan maka bangsa Indonesia tidak akan takut dan khawatir dalam menghadapi persaingan global. Paham wahabinisme yg sedang mengepung kita dari berbagai sudut diungkapkan secara gamblang dan terbuka. Pertahanan budaya harus ditingkatkan karena hanya itulah satu-satunya solusi. Partai-partai berbasis agama yang mendukung/membawa paham wahabi ini oleh Bapak Anand Krishna dikatakan akan mendukung demokrasi ala barat di Indonesia sampai mereka berhasil berkuasa dan setelah itu perlahan-lahan akan dihilangkan diganti dengan ideologi wahabi. Celakalah kita semua! Tetapi walaupun begitu, dengan penuh keyakinan Bapak Anand Krishna meminta masyarakat Bali untuk bangkit dan menjadi pelopor kembali kepada Pancasila yang merupakan Saripati Budaya luhur bangsa Indonesia. Tepuk tangan penuh semangat mengamini apa yang diwacanakan oleh Bapak Anand Krishna, membuka mata hati para undangan atas keadaan bangsa ini.

"Bali adalah pewarih budaya Nusantara yang harus menjadi mercusuar kebangkitan bangsa Indonesia. Jika mereka tetap memaksakan paham Wahabi itu masuk ke Indonesia, mereka telah menggali kuburannya sendiri, kita bersama akan membinasakan mereka disini," tegas Bapak Anand Krishna sambil mengebrak meja. Para undangan bertepung tangan menyetujui hal itu. Pada kesempatan itu pula Guruji meminta ketua partai PDIP dan Golkar Gianyar yang hadir untuk merapatkan barisan bersatu menghadapi musuh bangsa ini.

Kekuatan dari atas turunlah, kekuatan dari bawah naiklah, dan mari kita berkarya bersama. Begitulah, dengan dibimbing oleh Bapak Anand Krishna, masyarakat Gianyar bersama-sama melantunkan doa demi kedamaian dan kejayaan Indonesia.

sumber : http://akcbali.org/index.php?option=com_content&view=article&id=35:temu-hati-kebangsaan-di-gianyar-qkenali-budaya-sebagai-perekat-kesatuan-bangsaq&catid=19&Itemid=55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar