Rabu, 09 Januari 2013

BUDAYA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

I.                  PENDAHULUAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan selalu merujuk pada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai - perangai, kebiasaan - kebiasaan, nilai - nilai, peraturan - peraturan, dan simbol - simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki ide, bentuk dan perilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 9tujuh) unsur pokok yaitu sistim kepercayaan, bahasa, sistim ekonomi, sistim sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan sni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai - nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreatifitas dalam hal olah imajinasi dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertiaan yang terpandu antara kreatifitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.

WAWASAN KEBANGSAAN
Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing - masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita - cita bangsa berkembang menjadi wawsan kebangsaan, yakni pikiran - pikiran yang bersifat nasioanal dimana suatu bangsa memiliki cita - cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai - nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiaanya.
Seni dan budaya sebagai media pemersatu bangsa
Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar. Inilah hal yang mengiringi wacana tentang identitas (budaya) dalam globalisasi ini.
Dalam arus besar ini, kesenian lokal yang sekaligus sebagai corong penanaman nilai - nilai atau konsepsi - konsepsi sebagai satu unsur dalam kebudayaan lokal akan semakin tersisihkan. Apalagi yang terjadi pada generasi muda, kebudayaan barat akan semakin menindih kebudayaan lokal kita dalam diri mereka.
Maka tidak heran jika sosok yang kita hadapi sehari - hari dilingkungan kita adlaha sosok yang tidak teridentifikasi sebagai anak bangsa ini ( gaya bicara, kosa kata: semisal, “bajingan” dalam satu syair lagu populer, sopan santun, keramh tamahan, pola pikir, cara berpakaian dan lain sebagainya).
Hal yang harus dilakukan dalam menghadapi ini adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus - menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global, antara yang traadisi dengan yang modern, dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya.
Nah, seni dalam jenis dan sifatnya adalah tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Maka seni selalu memunculkan nilai - nilai atau konsepsi - konsepsi yang ada dalam lingkungan dimana ia berada. Diseluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada beberapa jenis nilai seperti tersebut diatas yang sering diangkat sebagai tema karya seni. Di antara nilai - nilai itu termasuk prinsip rukun, prinsip hormat, prinsip mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning bangsa, adigang adiguna 9sikap yang sombong0, aja dumeh (jangan sok), ngono yo ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu) dan laing sebagainya.
Nilai - nilai atau konsepsi - konsepsi yang terhadirkan dalam setiap tampilan kesenian, akan memasuki relung - relung hati setiap manusia yang terlibat dalam peristiwa seni ini (baik itu pelaku maupun penontonnya). Melihat hal semacam inilah maka sudah sangat jelas bahwa kesenian merupakan satu media yang signifikan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan.
Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan.


II.               CONTOH BUDAYA PEMERSATU BANGSA

Wayang Kulit
·                    WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul
·                    Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

III.           KESIMPULAN

Salah satu alat terpenting dalam hal “PEMERSATUAN SUATU BANGSA” salah satunya adalah budaya. Maka dari itu untuk menjalankan misi persatuan dan kesatuan kita harus melestarikan budaya sebagai alat pemersatunya.

sumber : http://resydlibracadabra.blogspot.com/2011/02/budaya-sebagai-alat-pemersatu-bangsa.html

Kebudayaan Sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Rabu, 23 Februari 2011


Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman atas Wawasan Nusantara sebagai nilai dasar Ketahanan Nasional serta sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa.

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatu yang agung dan mahal. Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

4. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Mengapa kebudayaan dapat menjadi alat pemersatu bangsa?
Seperti yang diutarakan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,budaya bisa menjadi alat pemersatu bangsa, karena melalui kebudayaan antarwarga masyarakat akan semakin akrab. “Untuk itu, setiap daerah perlu memperbanyak karnaval budaya, karena kegiatan tersebut dapat memperkokoh persatuan bangsa,” katanya pada pelepasan karnaval.

Ketika kita menyaksikan budaya-budaya bangsa Indonesia diklaim sebagai budaya yang berasal dari bangsa lain, contohnya reog ponorogo, dan lagu rasa sayange yang dikalim oleh Malaysia. Rakyat Indonesia dengan keras memprotes hal tersebut, entah karna memiliki sikap dan jiwa nasionalisme atau sekedar ikut-ikutan karena suasana, akan tetapi segenap bangsa Indonesia bersama-sama bersatu untuk mengutuk bangsa tersebut sebagai pencuri budaya Nusantara. 

Apakah warga Indonesia mempunyai jiwa nasionalisme hanya pada saat budaya nya diklaim? Akan tetapi dari segi positif nya, dengan ada nya masalah kebudayaan tersebut warga Indonesia dapat bersatu. Maka hal ini dapat dikatakan sebagai alat pemersatu bangsa.

Seni dalam jenis dan sifatnya adalah tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Maka seni selalu memunculkan nilai - nilai atau konsepsi - konsepsi yang ada dalam lingkungan dimana ia berada. Diseluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada beberapa jenis nilai seperti tersebut diatas yang sering diangkat sebagai tema karya seni
Perlombaan juga dapat menjadi alat pemersatu, karena jiwa nasionalisme akan keluar saat perlombaan berlangsung. Contohnya, saat perlombaan internasional tari pada tanggal 4 desember 2009 di Weihnachtsfeier, Holland. Dalam event ini mereka seakan berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam menampilkan kreasi seni dan budayanya masing-masing. Selain pertunjukan seni budaya, acara ini dimeriahkan juga dengan sajian makanan-makanan khas dari berbagai negara.



Globalisasi juga menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar. Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar.

Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan.

Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan. Akulturasi budaya yang seharusnya dijaga oleh pemerintah dan masyarakat bangsa ini dalam usaha untuk melestarikan budayanya agar selain tujuannya sebagai instrumen persatuan dan kesatuan bangsa, tentunya juga dapat menjadikan ini sebagai sarana untuk mempromosikan budaya kita di dunia internasional sehingga isu-isu klaim mengklaim yang mengaku pemilik budaya antar bangsa dapat segera diatasi dengan baik (misalnya terkait penguatan intrumen yuridis mengenai hak paten budaya kita).

sumber : http://gondichelsky.blogspot.com/2011/02/kebudayaan-sebagai-alat-pemersatu.html

Kebudayaan sebagai Pemersatu Bangsa

Minggu, 25 November 2012 | 00:07:15 WIB 
 
Kebudayaan sebagai Pemersatu Bangsa

Sejak Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tarian tor-tor, serta beberapa budaya lainnya yang hampir diklaim oleh Malaysia, tampaknya akhir-akhir ini bangsa Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah mulai berbenah diri. Dalam artian, kekayaan-kekayaan budaya yang terkandung dalam rahim bangsa yang sudah ada sejak zaman leluhur, satu per satu mulai diperhatikan, didata, dilestarikan, dan dikembangkan. Hal tersebut dilakukan selain untuk menjaga kebudayaan sebagai kekayaan bangsa, juga untuk menumbuhkembangkan dan memanfaatkan kebudayaan tersebut sebagai aset kemajuan bangsa.

Salah satu bukti dari usaha untuk menjaga, mendata, merawat, melestarikan, dan mengembangkan budaya tersebut, seringnya digelar perbincangan, atau dialog tentang kebudayaan. Seperti kali ini yang dilakukan oleh Komunitas Negeri Limadaya yang mengadakan dialog kebudayaan. Dialog yang mengangkat tema "Seni Budaya Nusantara sebagai Lumbung NKRI" tersebut menghadirkan Bambang Wibawarta (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI), Muh Hanif Dhakiri (Komisi X DPR RI), serta Radhar Panca Dahana (budayawan). Dialog kebudayaan yang berlangsung pada 21 November 2012 di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, tersebut dimoderatori oleh Iwan Kurniawan (jurnalis).

Bambang menyampaikan bahwa seni budaya atau budaya berfungsi sebagai pengetahuan, alat diplomasi, dan juga berkaitan dengan ekonomi yang secara keseluruhan semuanya itu terkandung dalam UUD 1945. "Dalam hal ini, undang-undang dijadikan sebagai payung besar. Sejatinya memfasilitasi, jangan mengatur yang nanti isinya menjadi penyakit. Memberi fasilitas, lindungan, dan payung hukum," kata dia.

Menurut dia, yang paling penting adalah bagaimana mengawal titik singgung atau pertemuan antarbudaya lokal. Hal ini, kata dia, butuh strategi karena kalau dibiarkan begitu saja akan memicu konflik. Oleh sebab itu, dibutuhkan undang-undang kebudayaan sebagai acuan. "Saya berharap undang-undang kebudayaan ini ada pilar-pilar penting, seperti kesadaran bahwa kita sangat beragam, dan undang-undang tersebutlah yang mengatur bagaimana mengelola keberagaman. Menjadikan kearifan lokal menjadi kearifan nusantara (nasional). Saling memahami bahwa kita ini berbeda," ungkap dia.

Muh Hanif Dhakiri (anggota Komisi X DPR RI) menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan tingkat keberagaman etnik yang tinggi, kebinekaan atau pluralitas, adalah realitas yang tidak dapat dimungkiri. Sehubungan dengan realitas ini, kata dia, pembangunan di sektor kebudayaan harus bertumpu pada sistem sosial yang bercorak bhinneka dan pluralitas. Sementara itu, pengembangan kebudayaan yang sudah dilakukan sampai saat ini, menurut dia, belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena masih rentannya soliditas budaya dan pranata sosial yang ada dalam masyarakat sehingga potensi konflik belum sepenuhnya teratas.

"Saat ini kebudayaan nasional kita mendapat tantangan besar yang akumulatif, yaitu fundamentalisme agama dan pasar. Agama bisa berkembang karena menjadi proses kebudayaan. Demokrasi kita maju, intoleransi sosial semakin tinggi. Infundamentalisme ini masuk pada budaya. Fundamentalis pasar, sebagai sebuah bangsa kita tidak bisa menutup diri. Banyak hal di republik ini yang baik. Bagaimana memiara, mengelola, dan mengembangkannya sebagai nilai lebih," kata dia.

Budayawan Radhar Panca Dahana menyampaikan bahwa setelah kerap kali mengunjungi kota-kota yang ada di Indonesia, dia mendapatkan bukti betapa kesenian atau kebudayaan itu ampuh luar biasa. Proses pembudayaan Indonesia, menurut dia, dilakukan melalui sastra lisan, dituturkan. Menuturkan sebuah karya kemudian dicipta ulang oleh penutur berikutnya. Kerjanya menjadi kerja komunal. "Kalau personal, invidual kerap terpisah dari publiknya, dan ini yang kerap dilakukan oleh bangsa Barat. Sedangkan kesenian rakyat, siapa saja boleh datang. Menjadi peristiwa bersama, dalam hal ini seni menjadi peristiwa kolektif dan diwariskan. Sehingga ada nilai kuat yang terkandung yang membuat masyarakat menjadi kuat," ungkap Radhar.

Menurut Radhar, seni selalu menyusuaikan diri dengan tempo dan kemutakhiran. Hidup dengan artistik dan menjadi rekat dengan masyarakat. "Saya kira, sampai detik ini, semua rapat karena kebudayaan. Jangankan dengan kebudayaan atau budaya yang lain, hanya dengan sastra tutur saja kita bisa kuat dan menang.

Dia menambahkan banyak hal dan faktor kebudayaan yang menjadi landasan bangsa ini. "Jadi, aspirasi daerah itu harus diakomodasi jangan lewat partai. Di sinilah kesempatan kalu mau kita bangun bangsa secara bersama-sama melalui budaya karena dengan budayalah kita menjadi besar dan kuat," ungkap Radhar.

sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106411

Budaya sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Jumat, 11 Februari 2011

seni pemersatu bangsa


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan selalu merujuk pada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki ide, bentuk dan perilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 unsur pokok yaitu sistem kepercayaan, bahasa, sistem ekonomi, sistem sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan sni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreatifitas dalam hal olah imajinasi dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertiaan yang terpandu antara kreatifitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.
WAWASAN KEBANGSAAN
Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasioanal dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiaanya.
Seni dan budaya sebagai media pemersatu bangsa
Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar. Inilah hal yang mengiringi wacana tentang identitas (budaya) dalam globalisasi ini.
Dalam arus besar ini, kesenian lokal yang sekaligus sebagai corong penanaman nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi sebagai satu unsur dalam kebudayaan lokal akan semakin tersisihkan. Apalagi yang terjadi pada generasi muda, kebudayaan barat akan semakin menindih kebudayaan lokal kita dalam diri mereka.
Maka tidak heran jika sosok yang kita hadapi sehari-hari dilingkungan kita adlaha sosok yang tidak teridentifikasi sebagai anak bangsa ini (gaya bicara, kosa kata: semisal, “bajingan” dalam satu syair lagu populer, sopan santun, keramah tamahan, pola pikir, cara berpakaian dan lain sebagainya).
Hal yang harus dilakukan dalam menghadapi ini adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global, antara yang traadisi dengan yang modern, dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya.
Nah, seni dalam jenis dan sifatnya adalah tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Maka seni selalu memunculkan nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi yang ada dalam lingkungan di mana ia berada. Di seluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada beberapa jenis nilai seperti tersebut diatas yang sering diangkat sebagai tema karya seni. Di antara nilai-nilai itu termasuk prinsip rukun, prinsip hormat, prinsip mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning bangsa, adigang adiguna sikap yang sombong, aja dumeh (jangan sok), ngono yo ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu) dan lain sebagainya.
Nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi yang terhadirkan dalam setiap tampilan kesenian, akan memasuki relung-relung hati setiap manusia yang terlibat dalam peristiwa seni ini (baik itu pelaku maupun penontonnya). Melihat hal semacam inilah maka sudah sangat jelas bahwa kesenian merupakan satu media yang signifikan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan.
Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan
Tulisan ini dibahas Oleh Marco Manardi dan Arif Zainudin (dikutip dari http://blog.beswandjarum.com)

Seni Budaya Harus Jadi Pemersatu Bangsa

RETNO HY/"PRLM"

BANDUNG,(PRLM).-Kemilau Nusantara 2012 dinilai lebih gebyar dan semarak dibandingkan dengan pelaksanaan Kemilau Nusantara terdahulu. Keikutsertaan 21 provinsi dan 26 kota serta kabupaten di Jawa Barat menunjukan bahwa event tahunan seni, budaya dan pariwisata Kemilau Nusantara sudah menjadi acara unggulan di Indonesia selain acara serupa yang diselenggarakan di provinsi lain.

“Tahun 2012 ini Kemilau Nusantara lebih gemerlap dan lebih meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain jumlah peserta yang banyak juga seni budaya yang ditampilkan lebih beragam,” ujar gubernur jabar Ahmad Heryawan dalam sambutanya.

Diungkapkan Ahmad Heryawan, ribuan jenis seni budaya yang ada di Indonesia merupakan warisan tidak ternilai harganya dan tidak dapat dinilai dengan uang berapapun jumlahnya. Karenanya segenap lapisan masyarakat bersama pemerintah dan stake holder mempunyai kewajiban untuk bersama-sam menjaga dan melestarikannya.

Ditegaskan Ahmad Heryawan, generasi muda harus memiliki komitmen yang kuat bahwa seni budaya sudah menjadi bagian dari kekayaan internasional.

“Semisal (kesenian) angklung yang sudah diakui dunia internasional,” ujar Ahmad Heryawan yang berharap seni budaya mampu mempersatukan perbedaan antar daerah dan menjadikan seni budaya sebagai benteng ketahanan nasional. (A-87/A-107)***

sumber :  http://www.pikiran-rakyat.com/node/206246

Budaya : Kesenian Perekat Kehidupan Berbangsa

KALIMANTAN BARAT - Budaya Daerah harus terus dilestarikan agar eksitensinya tetap terpelihara, dilindungi dan dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencerdasan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Salah satu kesenian adat budaya Batak yang ditampilkan Pesona Tanah Batak, ini kesenian yang harus kita lestarikan keberadaannya, berbagai budaya kesenian yang ada di Kalbar merupakan asset budaya daearah yang harus dijaga untuk dikebangkan.

Kesenian atau adat budaya masing masing suku etnis dapat dijadi sebagai alat untuk memupuK dan perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara kesatuan RI.

Hal tersebut dikatakan Gubernur Kalbar Drs.Cornelis.,H saat menyampaikan sambutannya pada malam Pagelaran Pesona Tanah Batak yang berlangsung di Gedung Serba Guna Kabupaten Sanggau, Sabtu ( 31/8).

Dikatakan Cornelis, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat juga terus berusaha untuk memajukan serta menjamin kebebasan budaya daerah asli daerah dari luar Kalbar, yang secara tradisi sudah menjadi bagian dari penduduk Kalbar secara turun temurun, secara nyata selama ini telah banyak memberikan kontribusinya dalam membangun Kalbar.

"Suku dan etnis apapun yang ada di daerah Kalbar merupakan budaya dan adat istiadat daerah Kalimantan Barat, jangan lagi kita berpikir dan berangapan itu bukan milik kita hanya milik dari etnis tertentu, Indonesia yang dihuni berbagai suku bangsa, etnis dan agama merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa, ini perlu kita syukuri," jelas Cornelis, seperti dilansir dalam laman kalbarprov.

Sementara itu Wakil Bupati Sanggau Paulus Hadi,S.Ip,M.Si mengatakan, sekarang Sanggau telah terbuka untuk siapa saja, apabila kita ingin maju, maka kita harus mempunyai hati nurani yang sama serta rasa memiliki untuk membangun Sanggau secara bersama-sama.

"Kita hidup dalam Negera Kesatuan RI, sama-sama sebagai Warga Negara Indonesia dan anak Indonesia," tegas Paulus. (c4/wam)

sumber : http://wartapedia.com/nasional/nusantara/8827-budaya--kesenian-perekat-kehidupan-berbangsa.html

Temu Hati Kebangsaan di Gianyar "Kenali Budaya sebagai Perekat Kesatuan Bangsa"


3 Juni 2006


Untuk kesekian kalinya Bapak Anand Krishna hadir di Bali, mulai dari Denpasar, Singaraja dan sekarang giliran Gianyar "tercerahkan" oleh kehadiran beliau. Apa yang saya alami di Hotel Nikki setahun lalu kini terjadi lagi. Ratusan kursi Balai Budaya Gianyar tidak mampu lagi menampung luapan kehadiran masyarakat Gianyar dan sekitarnya. Sampai-sampai mereka harus berdiri dan bersedia berada diluar gedung pertemuan.

Belum pernah sebelumnya ada acara dari organisasi non-pemerintahan yang dibanjiri oleh sejumlah tokoh pemerintahan, spiritual, anggota dewan, partai politik, bendesa adat dan warga biasa. Diantara undangan kehormatan tampak Bupati Gianyar Anak Agung Baratha, Wakil Bupati Gianyar Dewa Putu Wardana, Ketua DPRD Gianyar Made Agus Mahayastra, beberapa ketua partai politik, Muspida, Para Bendesa Adat dan Ida Pendanda Gde Made Gunung.

Dialog yang bertajuk "Kenali Budaya sebagai Perekat Kesatuan Bangsa" mempertemukan tiga pembicara yakni Bapak Anand Krishna, Bapak AA Rai (Budayawan/pemilik Musium ARMA), Ibu Luh Riniti Rahayu (Aktivisi Perempuan dan Ketua KPUD Bali) dan Ibu Yunni - penyiar senior di RRI cabang Denpasar sebagai moderator.

Ibu Luh Riniti Rahayu banyak memaparkan tentang perlunya nilai-nilai nasionalisme direvitalisasikan kembali. Peran perempuan dalam pembangunan bangsa harus dikedepankan karena perempuan memegang peranan penting bagi tumbuhnya kebudayaan. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa akan memberikan dampak yang sangat positif bagi tumbuhnya demokrasi. Tanpa adanya perempuan tentu tidak ada demokrasi karena yang melahirkan laki-laki adalah perempuan. Dan demokrasi tidak akan berjalan tanpa manusia-manusia yang berbudaya.

Berikutnya, Bapak Anak Agung Rai menyampaikan rasa syukurnya sebagai orang Bali, orang Gianyar.... Tapi beliau sering bertanya, siapa sih orang Bali itu? Kenapa kita ada di sini? Pertanyaan ini belum bisa dia jawab. Sekitar abad ke-5, banyak pendatang di Bali: dari Cina, Tibet, India, Jawa...sampai di sini menetap, membawa aliran dan sekte beraneka ragam. Sehingga menurut beliau orang-orang Bali ini adalah campuran atau alkulturasi dari berbagai kebudayaan yang pernah ada dan pernah singgah sebelumnya ke Bali. Raja Udayana dan Ratu Mahendradatta yang memerintah pada abad ke-11, dengan beraneka ragam rakyatnya bisa membawa kesejahteraan dan perdamaian pada satu tujuan yang sama. Lebih jauh dia menuturkan, seni merupakan ideologi spiritual. Apa yang diciptakan orang-orang jaman dulu dituangkan ke dalam seni. Gianyar harus bersyukur karena sumber inspirasi di sekitarnya luar biasa. Seni pemberian alam, dan seni buatan manusia. Walaupun hanya tamatan SMP, tapi dengan semangat ia belajar dari alam dan sekitarnya dan Museum ARMA adalah hasil dari kerja kerasnya. Baginya di museumlah tempat tersimpan roh atau spirit berkesenian seniman yang telah meninggalkan kita. Demikian ia mengakhiri wacananya.

Setelah diselingi lagu-lagu oleh The Torchbearers, muda-mudi pembawa obor kasih dari Anand Krishna Centre, tibalah giliran yang ditunggu-tunggu oleh para peserta, yaitu wacana dari Bapak Anand Krishna.

"Bung Karno, ayahnya Jawa, Muslim. Ibunya adalah Bali, Hindu. Bung Karno adalah hasil interracial and interfaith marriage. Sekarang Indonesia tidak bisa melahirkan seorang Bung Karno lagi karena UU perkawinan kita melarang ini," ungkap Bapak Anand Krishna. Mengutip apa yang pernah dikatakan Bapak Siswono, semua UU yang tidak mengacu pada Pancasila harus dibatalkan, karena dasar negara kita adalah Pancasila. Bapak Anand Krishna pada kesempatan itu menggugah kesadaran masyarakat Gianyar dengan suara beliau yang lembut, tegas dan penuh semangat bahwa tanpa Budaya manusia tidak memiliki roh sama sekali. Dan budaya inilah yang memberikan kesatuan berpikir dalam hidup. Apabila budaya bisa dipertahankan maka bangsa Indonesia tidak akan takut dan khawatir dalam menghadapi persaingan global. Paham wahabinisme yg sedang mengepung kita dari berbagai sudut diungkapkan secara gamblang dan terbuka. Pertahanan budaya harus ditingkatkan karena hanya itulah satu-satunya solusi. Partai-partai berbasis agama yang mendukung/membawa paham wahabi ini oleh Bapak Anand Krishna dikatakan akan mendukung demokrasi ala barat di Indonesia sampai mereka berhasil berkuasa dan setelah itu perlahan-lahan akan dihilangkan diganti dengan ideologi wahabi. Celakalah kita semua! Tetapi walaupun begitu, dengan penuh keyakinan Bapak Anand Krishna meminta masyarakat Bali untuk bangkit dan menjadi pelopor kembali kepada Pancasila yang merupakan Saripati Budaya luhur bangsa Indonesia. Tepuk tangan penuh semangat mengamini apa yang diwacanakan oleh Bapak Anand Krishna, membuka mata hati para undangan atas keadaan bangsa ini.

"Bali adalah pewarih budaya Nusantara yang harus menjadi mercusuar kebangkitan bangsa Indonesia. Jika mereka tetap memaksakan paham Wahabi itu masuk ke Indonesia, mereka telah menggali kuburannya sendiri, kita bersama akan membinasakan mereka disini," tegas Bapak Anand Krishna sambil mengebrak meja. Para undangan bertepung tangan menyetujui hal itu. Pada kesempatan itu pula Guruji meminta ketua partai PDIP dan Golkar Gianyar yang hadir untuk merapatkan barisan bersatu menghadapi musuh bangsa ini.

Kekuatan dari atas turunlah, kekuatan dari bawah naiklah, dan mari kita berkarya bersama. Begitulah, dengan dibimbing oleh Bapak Anand Krishna, masyarakat Gianyar bersama-sama melantunkan doa demi kedamaian dan kejayaan Indonesia.

sumber : http://akcbali.org/index.php?option=com_content&view=article&id=35:temu-hati-kebangsaan-di-gianyar-qkenali-budaya-sebagai-perekat-kesatuan-bangsaq&catid=19&Itemid=55

Seni Budaya Harus Dilestarikan Sebagai Perekat NKRI

Sabtu, 01 Desember 2012 - 12:52:34 WIB
Diposting oleh : Selany Ranu



Merdekaonline.com - Jakarta - Didasari akan kepedulian pada kesenian dan kebudayaan nasional serta melestarikan praktik implementasi menghadapi persoalan kemasyarakatan yang pluralistik dalam menjaga keutuhan NKRI dan sosialisasi RUU kebudayaan nasional.Komunitas Negeri Limadaya/KNLD menyelenggarakan kegiatan edukasi publik yakni dialog kebudayaan dengan tagline "Seni Budaya Nusantara Sebagai Lumbung NKRI".

Menurut Sihan (Hans J.Usman),Panpel saat di hubungi wartawan mengatakan,bahwa KNLD menyelenggarakan kegiatan dialog ini untuk mensosialisasikan akan RUU Kebudayaan Nasional yang sedang dalam tahap pembahasaan draft di Komisi X DPR RI."RUU Kebudayaan harus benar-benar dipantau agar dapat diketahui publik terutama masyarakat seni budaya di tanah air," tuturnya belum lama ini di Jakarta.

Sihan menambahkan,hal ini harus dikawal dan dipantau karena berbagai kepentingan akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pada draft pembahasan nanti.

Lain halnya dengan Anggota Panja RUU Kebudayaan Komisi X DPR RI,Muh.Hanif Dhakiri menjelaskan,RUU Kebudayaan sudah menjadi suatu hal yang harus kita kedepankan agar secara keseluruhan adalah untuk kepentingan rakyat khususnya para pecinta seni budaya serta rakyat pada umumnya.

"Budaya adalah warisan luhur seni budaya bagaimana caranya agar tidak hilang dan punah.Nah ini harus melibatkan peran aktif masyarakat dalam melestarikan budaya kita dengan proses dan program pembangunan nasional atau lokal terutama mengangkat pesan hidup secara lisan atau tertulis melalui kearifan lokal," jelas Hanif

Lebih lanjut Sastrawan dan Budayawan,Radhar Panca Dahana mengatakan,bahwa budaya memang harus ada peran aktif daripada seluruh masyarakat Indonesia,lebih-lebih masyarakat pecinta seni budaya.Dengan cara bagaimana budaya kita dikenal oleh bangsanya sendiri serta dikenal oleh dunia internasional."Jangan sampai budaya kita nantinya diakui lagi oleh negara lain.Hal ini-kan sudah pernah terjadi,mbok ya jangan sampai terulang lagi," imbuhnya.

Sudut pandang-pun juga dilontarkan oleh Bambang Wibawarta,Dekan Fak.Ilmu Budaya,Budaya di Indonesia jumlah sangat banyak sekali dan beraneka ragam dari setiap daerahnya.Namun kalau kita mau mengambil contoh daerah yang dapat menjadikan tempat untuk melestarikan seni budaya yang menjadi warisan luhur nusantara adalah Jakarta.

Kenapa Jakarta?,lanjutnya,karena Jakarta adalah sebagai kota yang menjadi parameter pembangunan di Indonesia.Serta sebagai pusat urbanisasi dan bertemunya setiap seni budaya daerah di Indonesia."Ini yang menjadi contoh daerah dalam sudut pandang saya dalam melestarikan seni budaya tanah air," ungkapnya.(SR)

sumber : http://merdekaonline.com/kategori/berita-2242-seni-budaya-harus-dilestarikan-sebagai-perekat-nkri.html